Thursday, March 23, 2006

Masa sih aku bisa sepenting itu?


Hari Selasa petang sekira jam 18 itu Taufik menemuiku yang tengah duduk mencangkung di pintu air kali Cideng sambil merenungi laporan yi Maman kalau penjualan hari itu jauh menurun dibandingkan hari Senin kemarin. Mana sosok neng Oci dah beberapa hari gak hadir tampilannya yang menawan itu. Maklum saja namanya juga wanoja yang sejak awal penampilannya kujuluki pohaci Hergarmanah tea.
Taufik melaporkan suasana pertemuan dan diskusi terbuka diantara peserta seminar, yakni sekitar kisah perantau Bugis di Perancis. Katanya sih ada beberapa tokoh masyarakat Bugis yang menanyakanku. Katanya juga beliau2 hadir, disaat peluncuran buku Memoar jenderal M.Jusuf di hotel Sahid pada 10 Maret 2006 itu.
Entahlah, namun seingatku aku hanya sempat berbincang sesaat dengan Fahmi Pane seorang anggota DPD asal Sumatera Utara, pak Assegaff Pemimpin Redaksi Metrotv dan pak Mar'ie Muhammad yang tengah dihujani pelukan hangat dari kolega2 beliau ditangga eskalator. Setelah nenunggu sejenak begitu ada kesempatan lowong langsung saja beliau kusapa dengan sebaik-baiknya,
"Assalamualaikum pak Mar'ie. Sungguh hari yang luarbiasa dan saya sangat beruntung bisa hadir di acara bapak." Tembakku seraya menyalaminya. Beliau yang Ketua Panitya langsung juga menjawab,
"It's okay, it's okay. Thankyou very much for coming." Tanggap beliau sembari menepuk nepuk bahuku dengan hangat dan dahinya kerung pertanda lagi mikir. Ya beliau tentu mikir akan wajah baru yang tak dikenalnya ini. Tadinya aku mau sebut kalau kami pernah jumpa di Cilosari 10 pada tahun 1968. Dimalam inaugurasi HMI Cabang Jakarta dimana beliau saat itu sebagai Sekretaris Cabang. Tapi kukira saatnya tidak tepat. Setelah itu aku pamit untuk ikut berbaur dengan para undangan yang tengah menunggu mobil jemputan di gerbang Selatan. Padahal aku sendiri gak sedang menunggu jemputan, namun lagi terkurung karena gak melihat sekedar celah buat menyelinap ke arah gerbang sebelah Timur yang menghadap ke Jalan Jenderal Sudirman.

Tak tega rasanya untuk menganggap Taufik tak serius dengan ucapannya, mana cuping hidung kanannya tampak memerah akibat flu berat yang tengah diobatinya dengan 3 kantung plastik obat2an dokter.
"Maaf pak. Pokoknya lain kali bapak akan tetap harus tampil disetiap pertemuan sosial atau politik yang mungkin." Ujarnya dengan ngototnya.
"Ngomong2 bagaimana dengan perkembangan jeng Fiona pak? Saya sudah agak lama tak sempat baca.
Oh ya ternyata tulisan bapak sehubungan dengan kedatangan Menlu AS Condolanzee Rice sudah dimuat di Tabloid Konstitusi. Sayangnya tabloidnya tidak saya bawa lagi." Tawanya dengan serius.
"Lihat gadis yang berjalan dengan kemeja coklat itu. Itulah jeng Fiona." Kataku menunjuk gerak langkah diajeng yang tengah memasuki KK40 pada jam 18:20. Taufik tampak terpana sesaat.
"Oh jadi tulisan berjudul jeng Fiona itu kisah nyata ya pak?"
"Iya lah." Jawabku singkat.
"Kami masih mempelajari gaya tulisan dan gaya orasi bapak." Gumannya.
"Kami?" Celetukku.
"Iya saya bersama teman2 yang sudah baca blog2 bapak. Tapi memang tak gampang menirukannya"
Subhanallah wal Hamdulillah. Allahu Akbar. Masa sih aku bisa sepenting itu? Atau tengah seberuntung itu? Taufik tengah merajutkan selusuran2 benang2 untuk dijadikan sehelai kain. Sementara kudambakan jeng Fiona yang akan menekuni kain itu dengan daya citarasa seni yang halus dan tinggi untuk menjadikan sehelai batik tulis Pekalongan yang indah anggun mempesona. Wow dah.

No comments: