Monday, April 17, 2006
Lotus binti Sarinah.
Rencananya sih bersama ambu mau ke Sarinah atau Lotus buat beli travel-bag buat perjalanan sekira 3 hari. Tas yang aku punya cuma memuat pakaian buat sehari saja.
Bakda Dhuhur Wandi lapor dalam perjalanan ke masjid Wandi berpapasan dengan diajeng yang tengah berjalan dengan teman wanitanya. Diajeng mengenakan jins biru ngatung berkaos putih lengan pendek. Rambutnya diikat dan mengenakan sandal.
"Weleh wa, jeng Fiona memang cantik. Apalagi waktu Wandi meliriki imbitnya."
"Kapan Wan?"
"Sekira jam 12:30an."
"Mau belanja barangkali." Lucu aja melihat mimik Wandi yang terheran.
Rencana belanja dengan ambu batal karena aku juga ingin menemui keluarga Sihono untuk membesarkan hatinya kalau Sihono masih bisa diobati dengan pertimbangan rasio logika dan emosi dan benar salahnya 60:40. Kalau perlu aku mau bantu dengan hydro-therapy seperti yang pernah kulakukan pada Juni 2005 kepada keluarga di Kuningan yang telah lama mengidap gangguan emosi dan depresi. Alhamdulillah di 7 Nop 2005 sudah tampak pulih dan normal lagi ingatannya dengan indikasi rajin mandi dan suka ke masjid. Dengan mengenakan jins biru dan kaos coklat kopi sambil berselempang tas kondektur hitam yang berisi hape, digicam, dompet dan uang 400ribu ditambah kado kecil berisi jam cantel feminin. Manatahu jumpa dengan diajeng sekalian buat mahugi. Kukenakan sepatu kuning kecoklatan dengan kauskaki putih. Pokoke gaya lah, manatahu juga beruntung bisa jumpa dan berbincang syukur kalau sambilmakan bersama segala.
Berjalan dari Plaza Indonesia lalu meliwati hotel Nikko Jakarta lalu mengarah ke Sarinah. Memakai sepatu pantofel baru jalan terasa gagah aja. Lantai 1 gedung sarinah aku lalui saja numpang liwat buat ke Lotus.Setelah lihat2 di areal Home Fair pilihanku jatuh ke satu tas Polo Classic lokal seharga 70ribu. Cuma orokaya begitu keluar dari gerbang Lotus, kelingking kaki kiriku serasa terjepit. Mana jalan jauh lagi. Makanya terpaksa aku menggunakan jasa ojek seharga 4ribu sampai ke Raisson.
Malamnya selagi ngobrol bersama Wandi didekat nako, aku disapa oleh Lina yang baru pulang entah darimana, yang mengeluhkan rasa sakit ditelapak kaki kanan pas di refleks maag dan ginjal. Kemudian bergabung Benny yang mau ke wartel dengan wajah yang lebih kuning cerah. Sayang seduhan 37 lembar daun delima tak bisa terlaksana.
Sempat ngobrol kalau tadi siang aku ke Sarinah.
"Semalam sebelum tidur minum apa Ben?" Godaku.
"Tak minum apa2. Kenapa?" Tanyanya dengan rada heran.
"Wajahmu tampak kuning berseri tanda bahagia."
"Kan habis dapat siraman rohani Paskah." Timpal Lina sembari tertawa.
"Oh ya. Happy Easter ya." Ujarku seraya menyalaminya melalui kaca nako.
"Betul itu. Perjalanan gerak bathin dengan ketulusan beragama menjadikan raut wajah tampak lebih cerah. Makanya kecantikan itu gak melulu dengan make-up atau gurat wajah tetapi harus didorong dengan ketulusan hati yang menerbitkan inner-beauty."
"Yang penting kan banyak vitamin D nya." Kekeh Lina.
"Maksud kamu duit? Gak juga. Banyak orang dengan posesi uang miliaran tapi airmuka nya senantiasa kucem. Banyak juga yang uangnya terbatas tapi sosok selalu berseri."
"Ada apa ke Sarinah pak? Jangan jangan......" Kekeh Benny memotong kalimatnya.
"Cuma beli travel-bag aja kok Ben. Sambil cuci mata." Jawabku polos.
"Iyalah pak. Disana kan banyak yang bening."
Tawanya lalu permisi mau ke wartel dulu.
Sepeninggal Benny, Lina sempat ceritera kisah bermalam Minggu di menara gading.
"Kami semalam ngobrol sampai jam 3. Setelah itu aku masuk kamar buat wiridz."
"Masih rajin shalatul lail ya Lin?"
"Alhamdulillah. Fiona juga rajin shalat malam. Sehabis Maghrib dia tidur lalu bangun tengah malam buat ibadah malam dan baca Yaasiin." Tawanya dengan bangga.
"Subhanallah walhamdulillah wallahu Akbar." Bisikku semakin terpesona.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment